AKU hanya bisa
pasrah memandang Saidah, istriku yang berbaring lemah di sebuah Rumah
Sakit (RS) di kota Madinah. Namun, keteganganku mendapati istri yang
harus menjalani persalinan di tanah rantau dan jauh dari keluarga
rupanya belum cukup. Sebab ternyata, istri telah divonis operasi cesar oleh dokter yang menanganinya.
Sekonyong-konyong, seorang petugas langsung menghampiriku dan menyodorkan secarik tagihan berisi beberapa angka.
“Iya, benar! hanya Rp. 17.000.000 dan harus dibayar cash sekarang,” kata petugas itu datar.
Tanpa sadar, bola mataku perlahan mulai mengair. Ya Rabb, darimana uang sebanyak itu? Jangankan tabungan atau celengan, handphone pun adalah barang yang sangat mewah bagiku yang masih berstatus mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM).
“Kami baru bisa bertindak jika biaya
administrasi itu sudah lunas,” kata- petugas rumah sakit itu terngiang
kembali, layaknya palu godam yang menghantam kepalaku.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.” [QS: Al Baqarah: 153]
Penggalan surat yang sudah lama kuhafalkan
itu tiba-tiba berkelebat dalam fikiranku. Seolah ada yang menggerakkan,
tanpa fikir panjang aku langsung melangkah mengambil air wudhu dan
bersimpuh di hadapan-Nya.
Seolah tanpa jarak, saat itu aku
benar-benar menumpahkan segala curhatku kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Shalat dan berdoa, itu saja yang kuulang-ulang terus. Entahlah, rupanya
beberapa dokter iba melihat perbuatanku. Mereka lalu bersedia membantu
proses operasi tanpa perlu dibayar.
“Alhamdulillah, pertolongan Allah mulai terbuka,” demikian batinku dalam diam.
Ibarat pepatah, “Malang tak dapat ditolak,
untung tak dapat diraih.” Saat menghadap direktur rumah sakit, para
dokter spesialis itu malah langsung kena semprot oleh sang direktur.
“Memangnya ini rumah sakit punya bapak
kalian. Semua peralatan dan obat-obat itu harus dibayar? Kalian di sini
hanya bekerja menjalankan tugas saja, tidak punya hak untuk membebaskan
biaya pasien cecar, “ demikian direktur yang emosi.
Aku hanya diam membisu di belakang. Dalam
hati, aku kasihan juga melihat para dokter itu. Mereka kena marah hanya
karena ingin membantu urusanku saja.
Entah mengapa, lagi-lagi aku ingin shalat
dan mengadu kepada-Nya lagi. Entah mengapa, tiba-tiba hati ini terasa
sejuk dalam lautan doa yang terus kupanjatkan kepada Allah Subhanahu
Wata’ala.
Akhirnya, tiba-tiba Allah Subhanahu Wata’ala mempertemukanku dengan salah seorang pengurus rumah sakit.
Uniknya, orang yang baru kukenal itu kaget
dan sontak merangkul badanku dengan akrab. Usut punya usut, ternyata ia
membaca nama yang tertera di kartu lembaran identitasku, Nashirul Haq
al-Bilawi. Rupanya orang itu mengira diriku berasal dari suatu daerah
dan semarga dengannya dari dataran Arab, yaitu Alwi atau Alawi. Entah
apa karena saya dianggap garis keturunan Alawi dari Hadramaut. Padahal
“Bilawi” itu adalah Bilawa, nama sebuah kampung di pelosok Sulawesi
Selatan.
Singkat kata, semua biaya operasi ditanggung olehnya. Subhanallah Wallhamdulillah.
Qaddarallahu, ternyata kisah ketegangan di Rumah Sakit Madinah itu rupanya belum tuntas. Pasca operasi cesar
dilakukan, sontak sesaat rumah sakit itu langsung heboh. Ternyata ada
inspeksi mendadak (sidak) alias razia bagi penduduk kota Madinah yang
tak memiliki identitas lengkap.
Ya Rabb, sekali lagi aku hanya
bisa berharap dan meminta kepada-Mu. Sebab wanita yang baru saja
melahirkan anak pertamaku itu tak punya identitas sama sekali, kecuali
ia adalah istriku yang sah.
Sudah maklum bagi pendatang, pasien gelap
atau siapa saja yang ketahuan tak punya identitas terancam dipulangkan
dengan paksa. Meski bersama bayi merahnya sekalipun.
Subhanallah. Allah Subhanahu
Wata’ala tak pernah tidur dan membiarkan hamba-Nya dirundung kesusahan.
Allah berkuasa atas segala tipu daya yang ada.
Saat petugas pemeriksa itu datang, mereka
hanya melewati istriku yang masih terbaring lemah. Rupanya petugas itu
mengira diriku adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) alias
pembantu dan istriku disangkanya seorang majikan orang Arab yang sedang
kujaga. Allahu Akbar!*/Roidatun Nahdhah,
pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Putri. Kisah
nyata ini disampaikan oleh Nashirul Haq dalam sebuah kesempatan majelis
taklim, di Gunung Tembak, Balikpapan
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar




0 komentar:
Posting Komentar